Dalam beberapa tahun terakhir, dinamika internal NATO mulai menunjukkan ketegangan yang semakin nyata. Beberapa negara anggota perlahan menyuarakan ketidakpuasan terhadap dominasi Amerika Serikat dalam aliansi pertahanan tersebut. Apa yang sebelumnya merupakan organisasi pertahanan kolektif yang solid, kini tampak mengalami gesekan geopolitik dan ideologis.
Dominasi AS: Keuntungan dan Ketimpangan
Sejak NATO didirikan pada 1949, Amerika Serikat selalu memegang peranan dominan, baik dari segi militer, pendanaan, maupun arah kebijakan strategis. AS menyumbang lebih dari 70% anggaran pertahanan NATO, menjadikannya negara penentu dalam keputusan utama, termasuk soal penempatan pasukan, ekspansi ke Timur, dan dukungan militer terhadap konflik seperti di Ukraina.
Namun, dominasi ini mulai dipertanyakan. Negara-negara Eropa Barat, khususnya Prancis dan Jerman, mulai merasa bahwa kepentingan geopolitik AS tidak selalu sejalan dengan stabilitas dan keamanan regional mereka.
Prancis dan “Otonomi Strategis” Eropa
Presiden Prancis Emmanuel Macron menjadi salah satu pemimpin paling vokal yang menyerukan “otonomi strategis Eropa”. Dalam beberapa kesempatan, Macron mengkritik ketergantungan Eropa terhadap AS, baik dalam hal militer maupun kebijakan luar negeri.
Pernyataan kontroversial Macron bahwa “NATO sedang mengalami mati otak” pada 2019 menjadi penanda awal keretakan visi dalam aliansi. Ia menekankan pentingnya Eropa membangun kapabilitas pertahanannya sendiri agar tidak selalu bergantung pada Washington.
Jerman di Persimpangan Jalan
Sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Eropa, Jerman menghadapi dilema besar. Di satu sisi, Berlin masih bergantung pada payung keamanan NATO, tetapi di sisi lain, tekanan AS terhadap kebijakan energi dan perdagangan membuat Jerman mulai berpikir ulang soal loyalitas mutlak terhadap Washington.
Kebijakan sanksi terhadap Rusia, yang didorong kuat oleh AS, memberikan dampak langsung terhadap ekonomi dan pasokan energi Jerman, terutama setelah konflik Ukraina meletus. Hal ini menimbulkan perdebatan internal di Bundestag tentang kepentingan nasional versus solidaritas transatlantik.
Turki: Sekutu yang Sulit Dikendalikan
Turki, salah satu anggota strategis NATO yang menghubungkan Eropa dan Asia, semakin menunjukkan sikap independen. Pembelian sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia dan kebijakan luar negeri yang sering bertabrakan dengan kepentingan NATO memperlihatkan bahwa Ankara tidak selalu sejalan dengan Washington.
Presiden Recep Tayyip Erdoğan juga beberapa kali menggunakan keanggotaan Turki di NATO sebagai alat tawar, termasuk memveto keanggotaan baru negara-negara Nordik dan mendesak perhatian lebih terhadap ancaman terorisme dari kelompok yang dianggap musuh oleh pemerintah Turki.
Ketidakpuasan atas Krisis Ukraina
Banyak negara NATO mendukung Ukraina melawan invasi Rusia. Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa anggota mulai menyuarakan kelelahan atas konflik yang tak kunjung selesai dan ketergantungan pada strategi AS. Negara-negara seperti Hungaria dan Slovakia misalnya, menunjukkan sikap lebih pragmatis dan tidak selalu sejalan dalam pemberian bantuan militer atau sanksi terhadap Rusia.
Tantangan Kolektif di Masa Depan
Meskipun belum bisa disebut “pemberontakan” secara formal, namun retakan internal dalam NATO menunjukkan bahwa aliansi ini menghadapi tantangan besar di abad ke-21:
-
Apakah NATO akan tetap menjadi aliansi militer transatlantik yang solid?
-
Atau akan berkembang menjadi forum politik yang lebih pluralistik, di mana tidak hanya suara AS yang dominan?
Kebutuhan akan reformasi struktur pengambilan keputusan, pembagian beban militer yang adil, dan otonomi strategis Eropa menjadi isu-isu sentral dalam masa depan NATO.
Kesimpulan
Negara-negara NATO mulai memberontak bukan dengan senjata, tapi dengan sikap, narasi, dan kebijakan yang menunjukkan keinginan untuk merdeka dari bayang-bayang dominasi AS. Jika NATO ingin tetap relevan dan solid, maka transformasi internal dan respek terhadap kedaulatan politik setiap anggotanya menjadi hal yang tak terelakkan.