5 Tentara Israel Bunuh Diri dalam 2 Minggu Terakhir, Ini Penyebab Utamanya

5 Tentara Israel Bunuh Diri dalam 2 Minggu Terakhir

Fenomena mengejutkan sedang mengguncang militer Israel. Dalam dua minggu terakhir, lima tentara Israel dilaporkan melakukan bunuh diri. Kasus ini membuka kembali luka lama tentang tekanan mental yang dialami prajurit dalam dinas militer yang dikenal sangat intens dan penuh tekanan. Peristiwa ini tak hanya menjadi sorotan media nasional Israel, tetapi juga menarik perhatian komunitas internasional, terutama dalam konteks invasi berkepanjangan dan situasi konflik di Jalur Gaza serta wilayah Tepi Barat.

Lalu apa sebenarnya yang menjadi penyebab utama di balik gelombang bunuh diri ini? Artikel ini akan mengupasnya secara mendalam, mulai dari tekanan psikologis akibat peperangan, beban moral, trauma tempur, hingga kultur militer yang masih kurang memberi ruang pada isu kesehatan mental.


Statistik yang Mengkhawatirkan

Israel dikenal sebagai negara dengan wajib militer yang ketat, baik untuk pria maupun wanita. Namun, di balik kebanggaan sebagai “militer rakyat,” data bunuh diri di kalangan tentara sebenarnya bukan hal baru. Setiap tahun, rata-rata 10 hingga 15 tentara Israel melakukan bunuh diri.

Namun, ketika 5 tentara melakukan bunuh diri hanya dalam waktu dua minggu, ini bukan lagi statistik biasa—ini adalah alarm bahaya.

Menurut data awal dari IDF (Israel Defense Forces), kelima tentara berasal dari unit yang berbeda, namun sebagian besar telah terlibat langsung dalam operasi militer di Gaza atau mengalami kondisi siaga tinggi selama berbulan-bulan tanpa pulang ke rumah.


Tekanan Mental yang Meledak

1. Kelelahan Psikologis Akut (Combat Fatigue)
Banyak tentara yang dikerahkan dalam operasi militer Israel di Gaza mengalami “burnout” atau kelelahan total. Mereka hidup dalam tekanan konstan — antara patroli, kontak tembak, dan menyaksikan kehancuran setiap hari. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami “Survivor’s Guilt”, rasa bersalah karena selamat sementara rekan mereka gugur.

2. Tidak Ada Rehat, Tidak Ada Kepastian
Sebagian besar dari mereka yang bunuh diri telah bertugas selama lebih dari 6 bulan tanpa cuti. Kondisi ini menyebabkan tingkat stres meningkat tajam, terlebih ketika situasi keamanan tidak kunjung membaik dan operasi diperpanjang terus-menerus.

3. Kurangnya Pendampingan Psikologis
Meski IDF memiliki divisi kesehatan mental, banyak tentara yang enggan mengakses layanan tersebut karena stigma. Mereka khawatir dianggap lemah atau tidak layak tempur jika terlihat mengeluh atau mengalami gejala trauma.


Surat Perpisahan dan Pesan Terakhir

Dalam beberapa kasus, tentara meninggalkan catatan atau pesan singkat. Isinya menggambarkan rasa putus asa, rasa bersalah, dan beban emosional karena keterlibatan dalam tindakan yang mereka anggap tidak sesuai nurani.

Seorang tentara menulis, “Aku tidak bisa lagi tidur. Aku merasa aku bukan manusia lagi setelah semua yang aku lihat dan lakukan.”

Kalimat-kalimat seperti ini menggambarkan gejolak batin para prajurit muda yang terseret dalam perang dan harus menghadapi kenyataan yang menggerus kemanusiaan mereka.


Beban Moral: Ketika Nurani Bertabrakan dengan Perintah

Banyak pengamat menyebutkan bahwa gelombang bunuh diri ini tidak bisa dilepaskan dari konteks operasi militer Israel yang sangat kontroversial, khususnya di Gaza.

Serangan udara, operasi rumah ke rumah, korban sipil yang berjatuhan — semua ini berdampak besar pada kondisi kejiwaan para prajurit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *