Gaza – Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza memasuki babak paling mengkhawatirkan. Ribuan warga sipil kini menghadapi kelaparan, minimnya air bersih, serta akses medis yang hampir nihil. Di tengah kondisi genting tersebut, puluhan truk bantuan dari berbagai lembaga kemanusiaan dilaporkan menumpuk dalam keadaan kosong di perlintasan Rafah dan Kerem Shalom, menunggu izin dari pihak Israel.
Situasi yang Semakin Memburuk
Sejak intensitas konflik meningkat beberapa bulan terakhir, pasokan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya ke wilayah Gaza mengalami penyumbatan besar. Perlintasan utama seperti Rafah (dengan Mesir) dan Kerem Shalom (dengan Israel) menjadi titik krusial pengiriman bantuan, namun aksesnya kerap dibatasi atau ditutup total dengan alasan keamanan.
Menurut laporan organisasi kemanusiaan internasional, lebih dari 50% rumah sakit di Gaza tidak lagi berfungsi. Obat-obatan seperti antibiotik, insulin, dan cairan infus menjadi barang langka. Bahkan, sejumlah rumah sakit terpaksa menghentikan operasi karena kehabisan bahan bakar untuk generator listrik.
Truk Bantuan Menunggu Lampu Hijau
Di sisi lain perbatasan, puluhan truk bantuan yang telah dipenuhi logistik kemanusiaan kini terbengkalai. Beberapa sopir mengaku telah menunggu lebih dari seminggu untuk izin masuk. “Kami membawa makanan dan alat medis, tapi belum ada kejelasan kapan bisa masuk,” ujar seorang pengemudi dari LSM asal Eropa.
Israel mengklaim mereka hanya memperbolehkan masuknya bantuan jika sudah melalui proses pemeriksaan ketat demi mencegah penyelundupan senjata. Namun, organisasi hak asasi manusia menilai proses tersebut terlalu lamban dan tidak proporsional mengingat skala kebutuhan warga sipil di Gaza.
PBB dan Dunia Internasional Desak Akses Lebih Besar
PBB dan sejumlah negara menyerukan dibukanya jalur kemanusiaan tanpa hambatan. Sekjen PBB, António Guterres, menegaskan bahwa “mencegah bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza adalah pelanggaran terhadap hukum internasional.” Ia mendesak agar semua pihak menempatkan kebutuhan warga sipil sebagai prioritas.
Negara-negara seperti Turki, Qatar, Norwegia, hingga Indonesia turut mengirim bantuan, namun banyak pengiriman tersebut masih tertahan di wilayah perbatasan.
Anak-Anak Jadi Korban Terbesar
Data terbaru UNICEF menunjukkan, satu dari tiga anak di Gaza kini mengalami malnutrisi akut. “Mereka tak hanya kehilangan tempat tinggal, tapi juga akses ke makanan dan air. Ini adalah generasi yang sedang sekarat secara perlahan,” ujar salah satu perwakilan UNICEF.
Kisah menyedihkan datang dari sebuah rumah sakit darurat di Khan Younis. Seorang ibu harus menunggu dua hari penuh untuk bisa mendapatkan obat demam bagi anaknya yang panas tinggi. “Kami sudah terbiasa hidup di bawah blokade, tapi sekarang situasinya jauh lebih buruk,” katanya.
Harapan dan Tekanan Global
Meski kondisi sangat memprihatinkan, tekanan dari komunitas internasional perlahan mulai menggeliat. Demonstrasi solidaritas di kota-kota besar dunia terus menuntut dihentikannya blokade total terhadap Gaza. Sementara itu, perundingan diplomatik untuk membuka koridor kemanusiaan secara permanen masih berjalan, meski penuh tarik ulur.
Penutup
Truk-truk bantuan yang tertahan di perbatasan menjadi simbol nyata bagaimana kepentingan politik kerap kali melampaui kebutuhan dasar kemanusiaan. Sementara dunia menonton, ribuan warga Gaza kini hanya bisa berharap, bantuan yang dijanjikan benar-benar akan sampai—sebelum semuanya terlambat.