Sehari setelah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, bersama dengan seorang mantan komandan Hamas, atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juru bicara ICC Fadi El Abdallah mengatakan pihaknya terikat untuk menerapkan hukum dan “tidak dapat mempertimbangkan dampak politis dari keputusannya.”

Oleh karena itu ia menyerukan kepada negara-negara pihak untuk mempertahankan mandat dan integritasnya. Dalam wawancara dengan UN News pada Jumat (22/11), Fadi El Abdallah juga mengatakan surat perintah penangkapan ini merupakan langkah pertama dalam tahap awal suatu kasus, “bukan keputusan,” tegasnya.

Meskipun Israel dan Amerika, yang memang bukan anggota ICC, menolak surat perintah penangkapan itu, banyak pihak menyambut baik ketegasan ICC, termasuk Indonesia.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Rolliansyah Soemirat mengatakan Indonesia mendukung sepenuhnya terhadap “semua inisiatif yang bertujuan untuk memastikan akuntabilitas atas kejahatan yang dilakukan oleh Israel di Palestina, termasuk yang ditempuh oleh ICC.”

Ditambahkannya, “Indonesia menekankan surat perintah penangkapan tersebut harus dilaksanakan sepenuhnya sesuai dengan hukum internasional. Pemerintah Indonesia juga berpandangan langkah ini sangat krusial untuk mengkahiri pendudukan ilegal Israel di wuilayah Palestina dan memajukan pembentukan negara Palestina sesuai prinsip-prinsip Solusi Dua Negara,” katanya kepada VOA, Sabtu (24/11), yang juga dirilis lewat X.

Namun pemerintah Indonesia belum memberikan tanggapan terhadap surat perintah penangkapan atas panglima Brigade Al-Qassam Muhammad Daif.

Langkah ICC Perlu Diapresiasi

Pengamat hubungan internasional di Universitas Diponegoro Mohamad Rosyidin menilai surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant merupakan langkah yang perlu diapresiasi dan merupakan sebuah kebijakan berani yang diambil oleh ICC, yang diharapkan bisa meredakan Perang Gaza. Namun, lanjutnya, dalam konteks politik internasional, hukum internasional itu susah sekali ditegakkan.

“Jadi saya sangat skeptis surat (perintah penangkapan) ini akan dilaksanakan spenuhnya oleh ngara-negara. Karena faktanya, sampai sejauh ini, 124 negara sudah meratifikasi Statuta Roma tapi banyak juga yang belum meratifikasi, termasuk Indonesia bukan negara yang meratifikasi Statuta Roma,” ujarnya.

Rosyidin menambahkan Amerika yang selama ini pro-Israel juga menarik diri dari Statuta Roma. Alhasil, kedua petinggi Israel itu bisa leluasa berkunjung ke Amerika tanpa takut ditangkap. Ia juga tidak percaya negara-negara Eropa, yang merupakan sekutu dekat Israel, berani menangkap Netanyahu dan Gallant jika melawat ke sana karena sebagian besar memiliki pandangan berbeda soal surat ICC itu.

Netanyahu dan Gallant Kutuk Surat ICC

Surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant merupakan yang pertama dikeluarkan secara resmi bagi petinggi Israel.

Berbicara beberapa jam setelah dikeluarkannya surat itu, Perdana Menteri Netanyahu mengutuk surat ICC tersebut, menyebutnya hari dikeluarkannya surat itu sebagai “hari yang kelam dalam sejarah bangsa Israel.”

“Pengadilan internasional di Den Haag, yang didirikan untuk melindungi umat manusia, kini telah menjadi musuh umat manusia,” ujar Netanyahu.

Ia menyebut ICC bersikap bias terhadapnya, dan bahwa majelis itu mengalami “kebangkrutan moral.”

“Demi Tuhan, apa yang mereka bicarakan di Den Haag? Faktanya sederhana: tidak ada perang yang lebih adil daripada perang yang dilancarkan Israel di Gaza setelah Hamas menyerang kami, tanpa alasan, melancarkan pembantaian terburuk terhadap orang-orang Yahudi sejak holocaust,” kata Netanyahu, merujuk pada pembantaian orang Yahudi pada Perang Dunia II.

Korban Tewas Serangan Balasan Israel Capai 44.100

Hamas memang melancarkan serangan ke selatan Israel pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 orang. Israel senantiasa menyebut serangan itu tidak diprovokasi, meskipun banyak pihak merujuk pada pengusiran paksa dan aksi kekerasan tanpa henti yang dilakukan Israel di Jalur Gaza, Tepi Barat dan wilayah-wilayah lain Palestina.

Serangkaian serangan balasan Israel lewat darat dan udara ke Gaza dengan tujuan utama membumihanguskan Hamas, sejauh ini telah menewaskan lebih dari 44.100 warga Palestina. Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, wilayah yang dikelola Hamas, juga mengatakan lebih dari 100 ribu lainnya luka-luka dan 11.000 orang hilang. Sebanyak 90% persen warga Gaza yang semula berjumlah 2,3 juta orang, telah meninggalkan rumah mereka dan berkali-kali pindah tempat atas perintah Israel.

Pengamat Ragukan Terwujudnya Gencatan Senjata

Hasbi Aswar, pengamat hubungan internasional di Universitas Islam Indonesia, menjelaskan terwujudnya gencatan senjata di Gaza itu tergantung pada kemauan dua pihak yang berkonflik. Di samping itu, ditentukan pula oleh kemauan politik dari negara-negara memiliki hak veto di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terutama Amerika yang memiliki peran besar.

Lebih jauh Hasbi Aswar merujuk pada perpecahan di politik di dalam negeri Israel, yang kini didominasi kelompok sayap kanan yang menginginkan Netanyahu melanjutkan perang, bukan menyepakati gencatan senjata. Hal ini berkelindan dengan keinginan Netanyahu memberangus Hamas.

“Saya kira kondisi domestiknya Israel yang pelik ini yang mebuat israel tidak mau menerima (usulan gencatan senjata). Saya kira Amerika juga memfasilitasi itu, tetap berjalan dengan kepentingan Israel,” ujarnya.

Dewan Keamanan sudah menerbitkan resolusi untuk segera mewujudkan gencatan senjata di Gaza, namun sejauh ini belum ada kerangka waktu untuk menerapkannya, atau akankah dewan itu berani mengeluarkan resolusi kedua berupa tekanan diplomatik dan ekonomi terhadap Israel. [fw/em]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *