Tahun 2025 menandai titik balik yang kelam dalam konflik bersenjata di Eropa Timur. Perang Ukraina yang dimulai sejak 2022 kini bukan hanya pertarungan antara Rusia dan Ukraina, melainkan medan ujian bagi kesatuan dan kekuatan blok Barat, yakni Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE).
Namun tanda-tanda keretakan mulai terasa. Perbedaan strategi, kepentingan politik dalam negeri, dan tekanan ekonomi telah menggores fondasi aliansi yang selama ini terlihat solid. Ketegangan antara AS dan UE mulai menimbulkan efek domino pada dinamika perang—yang tak hanya memperpanjang konflik, tapi juga bisa membuatnya semakin brutal dan tak terkendali.
Babak Baru Perang Ukraina: Masuk Tahun Ketiga
Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, ribuan nyawa telah melayang, jutaan orang mengungsi, dan infrastruktur hancur berkeping-keping. Awalnya, dunia Barat bersatu mendukung Kyiv, baik secara militer, ekonomi, maupun diplomatik.
Tapi kini, setelah lebih dari tiga tahun berlalu, semangat solidaritas itu mulai pudar. Ukraina menghadapi tekanan yang belum pernah sebesar ini: bukan hanya dari gempuran Rusia yang terus meningkat, tetapi juga dari para sekutunya yang mulai menarik diri secara perlahan.
Kerenggangan AS dan UE: Retakan yang Jadi Jurang
1. Perubahan Politik di Amerika Serikat
Pemilihan presiden AS yang baru saja berlangsung membawa kejutan: pemerintahan baru cenderung isolationist—lebih memilih fokus pada urusan dalam negeri ketimbang konflik di luar negeri. Dukungan terhadap Ukraina yang sebelumnya miliaran dolar per tahun, kini dibekukan, dipotong, bahkan dipertanyakan oleh para legislator.
Isu-isu seperti defisit anggaran, krisis migran, dan keamanan domestik membuat rakyat AS lelah dengan peran ‘polisi dunia’. Dampaknya? Pengiriman senjata, bantuan intelijen, hingga dukungan diplomatik untuk Ukraina mulai diturunkan secara signifikan.
2. Perpecahan Internal Uni Eropa
Di sisi lain, UE juga tidak dalam kondisi solid. Negara-negara Eropa Tengah dan Timur seperti Polandia, Estonia, dan Lithuania masih menganggap Rusia sebagai ancaman eksistensial. Namun negara-negara besar seperti Jerman, Prancis, dan Italia mulai mendahulukan stabilitas energi dan pemulihan ekonomi pasca-pandemi serta krisis inflasi.
Demonstrasi besar-besaran di Berlin, Paris, dan Roma menuntut diakhirinya pengiriman senjata dan menyerukan negosiasi damai, bahkan dengan konsesi kepada Rusia.
3. Perbedaan Strategi dan Kepentingan
AS dan UE kini memiliki agenda yang tidak selaras. Washington lebih mengutamakan kawasan Indo-Pasifik dan pengaruh China, sementara Eropa ingin mengakhiri perang secepat mungkin agar tidak berdampak lebih besar ke stabilitas regional.
Dampak Langsung pada Ukraina
1. Terbatasnya Bantuan Senjata
Tanpa dukungan penuh dari AS, Ukraina mulai kekurangan amunisi, sistem pertahanan udara, dan kendaraan tempur. Pasukan di garis depan menghadapi penurunan moral, ketertinggalan teknologi, dan meningkatnya korban jiwa.
2. Kesulitan Ekonomi
Mata uang Hryvnia melemah drastis, harga bahan pokok melonjak, dan utang luar negeri semakin membengkak. Tanpa aliran dana dari Barat, pemerintah Ukraina terancam kolaps secara fiskal.
3. Ketegangan Politik Internal
Masyarakat Ukraina mulai kehilangan kepercayaan pada elite politik. Ketegangan antara militer dan pemerintahan sipil meningkat, membuka potensi ketidakstabilan internal.
Rusia: Diuntungkan oleh Perpecahan Barat
Presiden Vladimir Putin kini melihat kesempatan strategis yang belum pernah sebesar ini sejak awal perang. Dengan berkurangnya solidaritas Barat, Rusia meningkatkan:
-
Mobilisasi pasukan tambahan
-
Serangan rudal jarak jauh yang lebih agresif
-
Aliansi militer dengan Iran, Korea Utara, dan China secara tidak langsung
Media Rusia menggambarkan perpecahan Barat sebagai bukti bahwa Ukraina akan segera kalah, memperkuat semangat nasionalisme domestik dan memperluas dukungan publik terhadap perang.
Risiko Perang yang Lebih Panjang dan Brutal
Tanpa tekanan bersatu dari AS dan UE, Rusia tidak akan tergesa-gesa untuk mengakhiri perang. Sebaliknya, mereka akan menargetkan wilayah tambahan seperti:
-
Kharkiv dan Odesa, untuk memutus akses Ukraina ke Laut Hitam
-
Wilayah Transnistria di Moldova, memperluas pengaruh ke barat
-
Destabilisasi negara-negara NATO terdekat, seperti Rumania dan Polandia
Brutalisasi konflik juga dipicu oleh penggunaan senjata baru, rudal hipersonik, drone kamikaze dalam jumlah besar, serta laporan pelanggaran HAM yang meningkat.